Saturday, October 28, 2017

Tradisi Teori Komunikasi Kritis


Teori Tradisi Kritis (The Critical Tradition) menganggap Komunikasi Sebagai Hasil dari Perefleksian Sebuah Wacana.
Apakah yang dimaksud dengan teori Tradisi Kritis (The Critical Tradition)?
Tradisi Kritis dalam komunikasi memang termasuk sulit untuk dikelompokan dalam satu varian teori. Wood (2004) mengelompokan dalam satu tema dengan judul critical communication theories yang meliputi teori feminis (feminist theory), teori kelompok bungkam (muted group theory), dan teori budaya (cultural theory). Little John dan Foss (2009) menempatkan tradisi kritis dalam komunikasi pada teori-teori tentang pelaku komunikasi, percakapan, kelompok, organisasi, media, dan budaya dan masyarakat.
Tradisi ini berangkat dari asumi teori-teori kritis yang memperhatikan terdapatnya kesenjangan di dalam masyarakat. Proses komunikasi dilihat dari sudut kritis. Bahwa komunikasi disatu sisi telah ditandai dengan proses dominasi oleh kelompok yang kuat atas kelompok masyarakat yang lemah. Pada sisi lain, aktifitas komunikasi mestinya menjadi proses artikulasi bagi kepentingan
kelompok masyarakat yang lemah.
Beberapa figur penting dapat disebut seperti Karl Marx, Noam Chomsky, Herbert Schiller, Ben Bagdikian, C. Wright Mills, dan sebagainya yang pemikiran mereka menyoroti tentang media. Tradisi Kritis memiliki keragaman (Little John dan Foss, 2009), Varian dari Tradisi ini di antaranya adalah:
1.             Marxisme,
Marxisme merupakan peletak dasar dari tradisi kritis ini. Marx mengajarkan bahwa ekonomi merupakan dasar dari segala struktur sosial. Kritik Politik ekonomi, pandangan ini merupakan revisi terhadap Marxisme yang dinilai terlalu menyederhanakan realitas kedalam dua kubu yaitu kalangan penguasa dan kalangan tertindas berdasarkan kepentingan ekonomi. Marx mengajarkan bahwa cara-cara produksi dalam masyarakat menentukan sifat masyarakat. Oleh karena itu, ekonomi adalah dasar dari semua struktur sosial. Dalam system kapitalis, keuntungan mendorong produksi, suatu proses yang berakhir dengan menekan buruh atau pekerja. Hanya ketika pekerja menentang kelompok-kelompok dominan, cara-cara produksi dapat diubah dan kebebasan pekerja dapat dicapai. Kebebasan tersebut memajukan perkembangan sejarah secara alami. Ketika kekuatan-kekuatan oposisi bersinggungan dalam dialektik yang menghasilkan peringkat social yang lebih tinggi. Teori marxis klasik ini dinamakan the critique of political economy.
Saat ini, teori kritik marxis sangat berkembang, meskipun teori ini telah bercabang dan multiteoretis. Beberapa ahli teori kritik saat ini dengan senang hati mengadopsi ide-ide Marx pada ekonomi politik, meskipun perhatian dasar akan konflik dialektik, dominasi, dan penindasan tetap penting. Teori kritik saat ini sering dinamakan “neo marxis” atau “marxis”. Berbeda dengan model materialis marxisme sederhana, kebanyakan teori-teorikritik kontemporer melihat proses-proses sosial sebagai overdetermined atau diakibatkan oleh sumber-sumber yang banyak. Mereka melihat struktur sosial sebagai sistem didalamnya terdapat banyak factor yang berinteraksi dan memengaruhi satu sama lain.
2.           Aliran Frankfurt,
Aliran Frankfurt memperkenalkan bahwa aliran kritis mampu menawarkan suatu interkoneksi dan pengujian yang menyeluruh tentang perubahan bentuk dari masyarakat, kultur ekonomi, dan kesadaran.
Frankfurt School adalah cabang kedua dari teori kritik dan faktanya sangat bertanggung jawab terhadap kemunculan istilah critical theory; Frankfurt School masih sering digambarkan sebagai persamaan dengan istilah teori kritik (critical theory). Frankfurt School mengacu kepada kelompok filsuf Jerman, sosiolog, dan ekonom Max Horkheimer, Theodor Adorno, dan Herbert Mercuse adalah
diantara anggota-anggota yang paling terkenal dihubungkan dengan Institute for Social Research yang didirikan di Frankfurt pada tahun 1923.
Pengikut aliran ini percaya bahwa demi kebutuhan akan integrasi di antara kajian khususnya filosofi, sosiologi, ekonomi, dan sejarah untuk mempromosikan filosofi sosial yang sangat luas atau teori kritik yang mampu menawarkan pengujian yang komprehensif akan kontradiksi dan interkoneksi dalam masyarakat. Frankfurt School merupakan Marxis dalam inspirasinya; pertama, pengikutnya melihat kapitalisme sebagai tahap evolusi perkembangan sosialisme dan kemudian komunisme. Bagaimanapun juga, kegagalan pergerakan pekerja dan kemunculan Fasisme, mengarahkan banyak pengikut Frankfurt School mengabaikan kepercayaannya akan proletar sebagai agen revolusi karena alasan dan kepintaran mereka. Sebagai hasilnya, Frankfurt School telah dikritik karena paham elitnya, kebencian terhadap budaya pop, dan pembebasan aktivisme demi intelektualisme.
Dengan munculnya Partai Sosialis Nasional (Nazi) di Jerman pada tahun 1930-an, banyak akademi Frankfurt berimigrasi ke Amerika yang membangun institusi untuk penelitian sosial di Universitas Kolombia. Sementara di Amerika, mereka sangat tertarik dengan komunikasi massa dan media sebagai struktur penekan dalam masyarakat kapitalis. Komunikasi mulai menjadi penting bagi teori kritik dan kajian komunikasi massa menjadi lebih penting. Akademisi Frankfurt kontemporer yang paling terkenal adalah Jurgen Habermas yang teorinya meneruskan penilaian terhadap alas an dan meminta untuk mengembalikan ide-ide rasional dari periode Pencerahan atau modern.
Teori kritik berada dalam paradigma modernis. Entah itu intelektual atau pandangan populer, ada sebuah kepercayaan pada alas an yang dibangun melalui ilmu pengetahuan, bahwa individu sebagai agen perubahan dan penemuan aspek-aspek budaya yang cuma-cuma. Keempat cabang tambahan yang dapat dikelompokkan dengan teori kritik yang melanggar modernitas dengan cara yang beragam: post-modernisme, post-kolonialisme, post-strukturalisme, dan kajian feminis. Apa yang umumnya dimiliki dari filosofis ini merupakan sebuah desakan pada keragaman dan ketidakstabilan makna, ketidakpercayaan terhadap ilmu pengetahuan, dan keengganan memberikan kepercayaan demi cerita yang hebat.
3.           Posmodernisme,
Posmodernisme ditandai dengan sifat relativitas, tidak ada standarisasi nilai, menolak pengetahuan yang sudah jadi dan dianggap sebagai sesuatu yang sakral.
Post-modernisme dalam pengertian yang paling umum diberi tanda oleh perpecahan dengan modernitas dan proyek pencerahan. Bertepatan dengan akhir dari masyarakat industri dan munculnya sebuah zaman informasi, dengan produksi barang-barang yang telah diberi jalan untuk memproduksi dan memanipulasi pengetahuan.
Bermula pada tahun 1970-an, post-modernisme menolak “elitisme, puritanisme, dan sterilitas” rasional karena pluralisme, relativitas, kebaruan (novelty), kompleksitas, dan kontradiksi. Kontribusi Jean-Francois Lyotard terhadap post-modernitas merupakan penolakan terhadap cerita-cerita hebat
tentang kemajuan tidak ada lagi kisah-kisah yang diceritakan yang masuk akal dalam suatu budaya.
Kontribusi Jean Baudrillard adalah penekanan pada peningkatan pemisahan tanda dari sesuatu yang ditunjuknya. Simulasi telah berlalu setelah dilakukan dan tanda-tanda diproduksi ulang pada suatu tingkat di mana mereka tidak lagi mengacu pada objek nyata dalam dunia materi. Kedua ajaran tersebut memunculkan pertanyaan terhadap penamaan-penamaan tradisional akan “ realitas”; apakah “cerita-cerita tentang budaya tidak dapat dipercaya dan konstruksi-konstruksi buatan untuk tanda-tanda selalu dianggap lebih nyata dibandingkan tanda itu sendiri, realitas merupakan konstruksi yang terus berubah dan cepat berlalu.
4.             Cultural studies
Cultural studies memusatkan pada perubahan sosial dari tempat yang menguntungkan dari kultur itu sendiri. 
Karya dari tradisi kritik yang dikenal sebagai Cultural Studies selalu dihubungkan dengan ragam post-modernisme dalam tradisi kritik. Sebagai tradisi yang terlepas dari tradisi, kajian-kajian budaya tampak sebagai cabang penting post-modernisme pada tradisi kritik. Para ahli kajian budaya sama-sama membahas ideology yang mendominasi sebuah budaya, tetapi memfokuskan pada perubahan sosial dari hal yang menguntungkan di dalam budaya itu sendiri:
“Untuk mempermudah pergerakan budaya seperti yang telah diperlihatkan dalam kehidupan sosial, hubungan kelompok dan kelas, institusi dan politik, serta ide dan nilai."
Penggabungan antara-ilmu dimulai di Centre for Contemporary Cultural Studies di Birmingham, Inggris tahun 1964. Dengan berfokus pada budaya sebagai penelitian yang umum dan bermanfaat, institusi ini telah menyediakan susunan subjek dan subkultur untuk kajian akademis yang biasanya dianggap tidak sesuai bagi perhatian akademis. Oleh karena itu, kajian-kajian budaya sangat populer dalam pengenalan yang bertolak belakang dengan ketidakjelasan pemahaman akan Frankfurt School.
Kemungkinan mempelajari semua bentuk subkultur yang biasanya tidak dipelajari dalam lingkungan akademik akan meningkatkan kajian budaya yang sangat berpengaruh bagi ilmu pengetahuan kontemporer kajian-kajian konsep yang awalnya dipinggirkan, seperti gender, ras, kelas, umur, dan yang terbaru, seksualitas.
Hal ini tidak mesti dikatakan bahwa topik-topik tersebut tidak dipelajari sebelum perkembangan teori budaya faktanya, setiap ilmu melihat kemunculan permasalahan ini dari keragaman dasar histories dan teoretis. Bagaimanapun juga, nilai-nilai kajian budaya yang umum dan dipinggirkan menjadi pendorong utama dibalik minat ilmiah yang berkelanjutan pada permasalahan tersebut.
5.             Post Strukturalis
Post strukturalis adalah pandangan yang memandang realitas merupakan sesuatu yang komplek dan selalu dalam proses sedang menjadi. 
Post-strukturalisme biasanya dikonsepkan sebagai bagian dari proyek post-modern karena post-strukturalisme mengolah usaha modern dalam menemukan kebenaran-kebenaran universal, naratif, metode, dan makna yang digunakan untuk mengenal dunia. Awal mula post-strukturalisme dikaitkan pada karya tulis Jaques derrida tahun 1966 dan inti post-strukturalisme adalah penolakan akan universalisasi makna yang ditentukan oleh desakan-desakan struktural, kondisi-kondisi, dan simbol yang tetap.
Malahan, para ahli di dalam tradisi post-strukturalisme menghubungkan pendekatan histories dan sosial terhadap sifat dunia serta manusia yang masing-masing maknanya ditentukan dalam produksi dinamis dan mencair serta pengaruh spesifik dari simbol-simbol untuk momen bersejarah.
Penganut post-strukturalisme mengkhawatirkan perbedaan di antara orang-orang daripada cerita-cerita besar yang biasa mereka miliki dan perbedaan-perbedaan ini berperan dalam kehidupan setiap individu. Penolakan pada pandangan tetap dan tradisional terhadap tanda-tanda, simbol-simbol, dan makna yang dimiliki oleh post-strukturalisme menempatkannya dalam bidang teori komunikasi.
Sebagai tambahan, Jaques Derrida, Jean Baudrillard, Rolland Barthes, dan Richard Rorty lebih dikenal dengan penganut post-strukturalisme. Beberapa aspek dari karya Michel Foucault sangatlah post-strukturalis; yang lainnya sangat bergantung pada elemen-elemen strukturalis. Untuk alasan ini, beberapa orang menganggapnya sebagai post-strukturalis dan yang lainnya tidak.
6.           Post Colonial
Post Colonial mengacu pada semua kultur yang dipengaruhi oleh proses imperial dari masa penjajahan sampai saat ini.
Berikutnya, teori post-kolonialisme mengacu pada kajian “semua kebudayaan dipengaruhi oleh proses kekaisaran dari era kolonialisasi sampai hari ini". Inti dari teori post-kolonialisme adalah gagasan yang dikemukakan oleh Edward Said bahwa proses penjajahan menciptakan “kebedaan” yang bertanggung jawab bagi gambaran yang distereotipkan pada populasi bukan kulit putih.
Teori Said merupakan proyek kritik dan post-modern yang bukan hanya menggambarkan proses kolonialisasi dan keberadaannya untu mengintervensi “emancipatory political stance.” Post-kolonial juga merupakan sebuah proyek post-modern dalam mempertanyakan bahwa hubungan histories, nasional dan geografis, serta penghapusan dibuat eksplisit dalam wacana. Kemudian, pakar post-kolonial mengkaji isu-isu yang sama sebagaimana yang dikaji oleh kajian budaya dan kritik, ras, kelas, gender, seksualitas tetapi semuanya disituasikan “dalam susunan geopolitik dan hubungan Negara-negara serta sejarah antarnegara merdeka”.
7.           Kajian Feminis
Kajian feminis tidak sekedar menawarkan kajian gender. Feminis berusaha menawarkan teori-teori yang memusatkan pada pengalaman perempuan dan untuk membicarakan kategori-kategori gender dan sosial lainnya, termasuk ras, etnis, kelas, dan seksualitas. Kajian feminis dalam komunikasi misalnya bagaimana praktik komunikasi berfungsi menyebarkan ideologi-ideologi gender yang dimediasi oleh wacana.
Akhirnya, kajian feminis telah bertahun-tahun berpengaruh dalam tradisi kritik. Feminisme didefinisikan secara beragam, mulai dari pergerakan untuk menyelamatkan hak-hak wanita sampai semua bentuk usaha penekanan. Dengan demikian, sekarang para ahli lebih suka membahas feminisme secara plural daripada secara singular.
Para ahli feminisme memulainya dengan fokus pada gender dan mencari perbedaan antara seks sebuah kategori biologis dan gender sebuah konstruksi sosial. Mereka telah menguji, mengkritik, dan menentang asumsi, serta mengalami maskulinitas dan feminitas yang meliputi semua aspek kehidupan, sebagai usaha untuk memperoleh cara-cara yang lebih memberi kebebasan pada wanita dan pria supaya diakui di dunia.
Akan tetapi, penelitian feminis lebih dari sekedar kajian gender, feminis berusaha menawarkan teori-teori yang memusatkan pada pengalaman wanita dan untuk membicarakan hubungan antara kategori-kategori gender dan sosial lainnya, termasuk ras, etnik, kelas, dan seksualitas.
Hal yang paling terkini, kajian tentang bagaimana praktik komunikasi berfungsi menyebarkan ideology-ideologi gender yang dimediasi wacana menjadi mengemukan dan mereflesikan variabilitas kajian budaya dalam ilmu komunikasi. Bukti lainya yang cukup signifikan adalah kajian contoh-contoh positis gaya komunikasidan pratiknya yang dapat memberikan model untuk bagaimana mecapai perubahan yang sesuai dengan nilai-nilai penganut paham fiminisme (Amanda dan Nasution, 2017 dalam www.dicto.id. (Lihat juga www.filsafat.kompasiana.com).
Artikel ini ditulis oleh Handes Akademisi Ilmu Komunikasi Universitas Tanjungpura. 

Source Review:
Gatot Anwar Nasution dalam www.dicto.id. 2017
Karla Amanda dalam www.dictio.id 2017
Littlejohn, Stephen W & Karen A. Foss. 2009. Teori Komunikasi, edisi 9. Jakarta: Salemba Humanika.
Wood, Julia T. 2004. Gendered Lives: Communication, Gender, and Culture. Fifth edition, New York:Wadsworth
www.folsafat.kompasiana.com























































































































http://filsafat.kompasiana.com

0 comments:

Post a Comment