Nur Fitriah Andriani, Surabaya 2015
A. Konsep Keunggulan Komparatif
Konsep perdagangan bebas pertama kali dirumuskan oleh Adam Smith yang kemudian dikembangkan oleh David Ricardo pada tahun 1887 (Pressman, 1999). Masa itu adalah zaman negaranegara Eropa melakukan penjajahan dan ahli-ahli ekonomi di Negara tersebut sedang berdebat sengit antara pro dan kontra tentang peran pemerintah dalam perdagangan. Ricardo adalah salah seorang ekonom yang tidak menyetujui kebijakan pemerintah dalam pembatasan perdagangan. Menurut Ricardo, alasan utama yang mendorong perdagangan internasional adalah perbedaan keunggulan komaparatif relatif antar Negara dalam menghasilkan suatu komoditas.
Suatu Negara akan mengekspor komoditas yang dihasilkan lebih murah dan mengimpor komoditas yang dihasilkan lebih mahal dalam penggunaan sumber daya (Lindert and Kindleberger, 1983). Perdagangan internasional semacam itu akan mendorong peningkatan konsumsi dan keuntungan. Sebaliknya kebijakan pembatasan perdagangan oleh pemerintah justru memberikan kerugian yang lebih besar bagi masyarakat dalam negeri dibandingkan manfaat yang diperoleh.
1. Berdasarkan hal-hal di atas, munculnya Teori Keunggulan Komparatif yang digagas oleh David Ricardo. Keunggulan komparatif ini oleh Ricardo dan Viner disebabkan oleh adanya perbedaan dalam kepemilikan atas faktor-faktor produksi seperti: sumber daya alam, modal, tenaga kerja dan kemampuan dalam penguasaan teknologi (Anderson, 1995: 71-73). Adapun asumsi yang dikemukakan oleh David Ricardo adalah sebagai berikut:
- Hanya ada 2 negara yang melakukan perdagangan internasional.
- Hanya ada 2 barang (komoditi) yang diperdagangkan.
- Masing-masing negara hanya mempunyai 1 faktor produksi (tenaga kerja)
- Skala produksi bersifat “constant return to scale”, artinya harga relative barang-barang tersebut adalah sama pada berbagai kondisi produksi.
- Berlaku labor theory of value (teori nilai tenaga kerja) yang menyatakan bahwa nilai atau harga dari suatu barang (komoditi) dapat dihitung dari jumlah waktu (jam kerja) tenaga kerja yang dipakai dalam memproduksi barang tersebut.
- Tidak memperhitungkan biaya pengangkutan dan lain-lain dalam pemasaran.
Melalui spesialisasi sesuai dengan keungggulan komparatifnya, maka jumlah produksi yang dihasilkan bisa jauh lebih besar dengan biaya yang lebih murah dan pada akhirnya bisa mencapai skala ekonomi yang diharapkan. Pemikiran ini kemudian berkembang bahwa akan lebih menguntungkan jika arus perdagangan antara negara dibebaskan, tidak terhambat oleh kebijakan atau peraturan negara baik berupa proteksi, tarif maupun non-tarif seperti pada penjelasan paragraph di atas.
Berdasarkan pemikiran ini, dirumuskan aturan perdagangan multilateral yang kemudian menjadi satu produk hukum internasional. Namun demikian negara-negara tersebut akan terikat dengan kepentingan nasionalnya yang menurut Morgenthau merujuk pada hal-hal yang dianggap penting bagi suatu negara, sehingga merujuk pada sasaran-sasaran politik, ekonomi, atau social yang ingin dicapai suatu negara (Viooti, 1993: 584). Sehingga negara perlu memberikan prioritasnya yang diformulasikan dalam sasaran dan indikator bagi tercapainya kepentingan tersebut.
Untuk mewujudkan kepentingan nasionalnya suatu negara harus memanfaatkan keunggulan komperatif guna meraih peluang dan mengurangi atau meniadakan kendala yang timbul sebagai konsekuensi logisnya. Keunggulan komparatif yang harus dimiliki suatu negara untuk dapat memenangkan dan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional antara lain
1. Jumlah tenaga kerja yang relatif banyak.
2. Sumber daya alam yang melimpah.
3. Sumber modal yang besar.
4. Kemampuan dan penguasaan ilmu pengetahuan teknologi yang tinggi
5. Letak geografis yang cukup strategis.
6. Potensi pasar domestic/ dalam negeri yang cukup besar.
7. Jumlah pengusaha kecil, menengah dan koperasi yang besar.
8. Sektor agrobisnis yang mengandalkan lahan produktif yang luas
B. Upaya Optimasi Keunggulan Komparatif di Indonesia
Pemerintah perlu mengoptimalkan keunggulan komparatif Indonesia untuk menumbuh kembangkan industri berbasis sumber daya lokal yang berdaya saing tinggi di pasar internasional. Kecepatan dan ketepatan pemerintah mengidentifikasi industri yang kompetitif dan memfasilitasi perkembangannya dapat memacu pertumbuhan jangka panjang ekonomi nasional. Kepala Ekonom Bank Dunia Justin Yifu Lin menyampaikan hal itu di Jakarta, Selasa (28/6), saat bertemu Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, pengusaha, dan Komite Ekonomi Nasional dalam kunjungan dua hari di Indonesia.Indonesia dapat menjadi pusat pertumbuhan besar tahun 2025. Bahkan, Indonesia diprediksi menjadi salah satu dari enam negara dengan kontribusi separuh pertumbuhan ekonomi global.
Akan tetapi, sebelum mencapai titik tersebut, pemerintah harus lebih intens membenahi upaya dalam mencapai target yang dibuat dalam sektor dengan keuntungan komparatif itu.”Indonesia adalah negara dengan banyak keuntungan, misalnya, sumber daya alam, angkatan kerja berpendidikan yang besar, sektor swasta yang bergairah, dan pasar domestik yang besar. Kemampuan Indonesia membangun industri otomotif adalah contoh keberhasilan Indonesia mengelola potensinya sehingga bisa mengekspor ke negara lain,” ujarnya. Contoh lainnya adalah Indonesia mengimpor kapas dari Amerika Serikat untuk diproduksi menjadi tekstil dan produk tekstil. Produk tersebut kemudian diekspor kembali ke Amerika Serikat. Angkatan kerja yang besar menjadikan Indonesia memiliki keunggulan komparatif di industri padat karya.”Pemerintah perlu membenahi berbagai persoalan yang menyelimuti iklim investasi industry padat karya untuk mengembangkan industri lokal, menjaga pertumbuhan pendapatan, dan mengurangi kemiskinan,” ujar Justin.”Indonesia adalah negara dengan berbagai keunggulan, di antaranya angkatan kerja yang besar dan cukup terdidik, komunitas bisnis yang dinamis, dan secara geografis dekat dengan beberapa sentra pertumbuhan. Industri otomotif adalah contoh baik bagaimana semua keunggulan tersebut kemudian mendukung satu sektor yang tepat,” kata Justin.”Mengikuti keunggulan komparatif adalah cara terbaik untuk memperluas industri lokal, mempertahankan pertumbuhan pendapatan, dan mengurangi kemiskinan,” katanya (HAM).
Kelemahan Teori Keunggulan Komparatif
Beberapa kelemahan teori klasik comparative advantage:
1. Dalam penerapannya dapat menimbulkan ketergantungan dari Negara Dunia Ketiga terhadap negara-negara maju karena keterbelakangan teknologi. Fakta lain, saat ini negara-negara maju pun bisa membuat sendiri apa yang menjadi spesialisasi negara berkembang.
2. Akibat perbedaan fungsi produksi (tenaga kerja) menimbulkan perbedaan produktivitas ataupun perbedaan efisiensi diantara Negara-negara sehingga terjadilah perbedaan harga.
3. Perdagangan internasional tidak akan terjadi jika faktor produksi atau efisiensi di kedua negara sama karena harga barang yang sejenis akan menjadi sama pula di kedua negara. Kenyataannya, walaupun fungsi faktor produsi sama di kedua negara, ternyata harga barang sejenis dapat berbeda, sehingga perdagangan internasional tetap dapat terjadi. Dalam hal ini teori klasik tidak dapat menjelaskan mengapa dapat terjadi perbedaan harga diantara kedua negara walaupun fungsi faktor produksi sama.
4. Teori modern dari Heckscher - Ohlin dapat menjelaskan mengapa perdagangan internasional tetap dapat terjadi walau terdapat kesamaan dalam faktor produksi diantara kedua negara.
C. Teori Keunggulan Kompetitif
1. Konsep Keunggulan Kompetitif
Teori Porter tentang daya saing nasional berangkat dari keyakinannya bahwa teori ekonomi klasik yang menjelaskan tentang keunggulan komparative tidak mencukupi, atau bahkan tidak tepat. Menurut Porter, suatu negara memperoleh keunggulan daya saing/competitive advantage (CA) jika perusahaan (yang ada di negara tersebut) kompetitif. Daya saing suatu negara ditentukan oleh kemampuan industri melakukan inovasi dan meningkatkan kemampuannya. Perusahaan memperoleh (CA) karena tekanan dan tantangan. Perusahaan menerima manfaat dari adanya persaingan di pasar domestik, supplier domestik yang agresif, serta pasar lokal yang memiliki permintaan tinggi.
Perbedaaan dalam nilai-nilai nasional, budaya, struktur ekonomi, institusi, dan sejarah semuanya memberi kontribusi pada keberhasilan dalam persaingan. Perusahaan menjadi kompetitif melalui inovasi yang dapat meliputi peningkatan teknis proses produksi atau kualitas produk. Selanjutnya Porter mengajukan Diamond Model (DM) yang terdiri dari empat determinan (faktor – faktor yang menentukan) National Competitive Advantage (NCA). Empat atribut ini adalah: factor conditions, demand conditions, related and supporting industries, dan firm strategy, structure, and rivalry.
Michael Porter dalam teorinya menggambarkan bagaimana sebuah bisnis dapat membangun keunggulan kompetitif yang berkesinambungan. Keunggulan kompetitif adalah kemampuan sebuah perusahaan dalam memberi nilai tambah pada produk yang ditawarkan kepada konsumennya, lebih dari yang ditawarkan produk lain atau dari yang ditawarkan oleh kompetitornya.
Menurut pandangan Porter, kekayaan nasional terkait erat dengan “peningkatan” keunggulan kompetitif. Pada awalnya suatu bangsa mencoba mengeksploitasi kondisi-kondisi faktor-faktornya untuk mendorong laju pembangunannya. Pada tahap berikutnya bangsa tersebut mulai menarik teknologi asing dan mengadakan investasi dalam peralatan modal, sambil mendorong lebih banyak tabungan. Industri-industri yang padat karya dan padat sumber daya diganti oleh industri yang lebih intensif teknologi. Perusahaan yang paling berhasil mampu menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi melalui diferensiasi produk dan jasa. Perusahaan-perusahaan ini memusatkan perhatiannya pada kegiatan ilmu pengetahuan di luar negeri.
Pada tahap lebih lanjut bangsa tersebut beralih ke inovasi sebagai pengendali utama kekayaan nasionalnya. Apabila berhasil, bangsa tersebut akan bergerak ke tahap berikutnya lagi yang ditandai oleh upaya untuk mengelola dan memelihara kekayaan yang ada. Kegiatan investasi dan inovasinya bisa mengendur dan keunggulan kompetitif bangsa tersebut mulai terkikis. Daya saing nasional ini tidak terlepas dari daya saing perusahaan-perusahaan atau industry yang ada di dalam negara atau wilayah yang bersangkutan dalam berkompetisi dan menggerakkan kegiatan ekonominya. Kompetisi dalam suatu industri ditentukan oleh struktur dari masing-masing industri. Struktur industri mengarah pada hubungan antara lima kekuatan yang mengendalikan perilaku perusahaan dalam berkompetisi di suatu industri. Bagaimana perusahaan berkompetisi dengan industri lainnya secara langsung berhubungan dengan lima kunci kekuatan yang dikembangkan oleh Michael Porter sebagai berikut:
- Ancaman Pendatang Baru dalam Industri
Profitabilitas perusahaan cenderung tinggi ketika perusahaan lainnya terhalangi untuk memasuki industri. Pendatang baru dapat mengurangi profitabilitas industri karena mereka menambah jumlah produksi dan dapat secara substansial mengikis posisi keberadaan pasar yang sudah ada. Oleh karena itu, untuk mengurangi pendatang baru, perusahaan yang ada dapat membangun halangan untuk memasuki industri, yakni dalam bentuk : (1) persyaratan modal untuk masuk dalam industri, (2) skala ekonomi industri yang ada saat ini, (3) diferensiasi produk yang dilakukan oleh industri yang ada saat ini, (4) biaya pengganti untuk mempengaruhi pembeli beralih dari industri yang ada saat ini, (5) indentitas merek dari produk atau jasa yang ditawarkan oleh perusahaan yanga ada saat ini di benak konsumen, (6) Ketersediaan akses untuk saluran distribusi, (7) Keyakinan untuk mendapatkan kemanfaatan yang berlanjut dari produk atau jasa yang ditawarkan kepada konsumen oleh industri yang ada saat ini.
- Posisi Tawar Pelanggan
Pelanggan produk atau jasa suatu industri dapat menekan perusahaan yang ada untuk mendapatkan harga yang rendah atau pelayanan yang lebih baik dari penyedia (industri) apabila: (1) pelanggan memiliki pengetahuan yang baik tentang kualitas produk dan memiliki informasi yang cukup mengenai produk atau jasa yang ditawarkan sehingga dapat mengevaluasi produk atau jasa tersebut dengan penjual lainnya. (2) Ukuran pembelian yang dilakukan oleh pelanggan (banyaknya uang yang digunakan pelanggan untuk membeli produk atau jasa yang ditawarkan), (3) kurang dirasakannya fungsi produk bagi pelanggan (kemanfaatan produk), (4) jumlah pelanggan lebih terkonsentrasi daripada jumlah penyedia produk atau jasa (oligopsoni). Pelanggan juga memiliki posisi tawar lebih kuat ketika produk dan jasa yang dtawarkan oleh industri cenderung homogen atau standar (tidak ada perbedaan antara satu dan yang lainnya) sehingga membutuhkan biaya yang rendah untuk mengganti ke pemasok lain, dan ketika pelanggan juga dapat masuk ke dalam industri dimana mereka biasanya melakukan pembelian (membuat sendiri produk yang biasa dibelinya).
- Posisi Tawar Pemasok (supplier)
Pemasok dapat mempengaruhi posisi tawar apabila: (1) produk mereka krusial (penting) bagi pelanggan, (2) mereka dapat memasang harga tinggi untuk biaya penggantian (peralihan ke pemasok lain), (3) Mereka lebih terkonsentrasi dariapada jumlah pelanggan. Pemasok juga memiliki posisi tawar yang tinggi ketika dengan mudah mereka dapat masuk ke dalam industry dimana mereka biasanya memasok produk atau jasa mereka (membuat industri untuk menjual produk yang dihasilkannya sendiri).
- Intensitas Persaingan Antara Perusahaan dalam Industri
Tingkat persaingan antar perusahaan yang sudah ada saat ini adalah determinan penting ketertarikan industri dan profitabilitas. Intensitas persaingan dapat mempengaruhi biaya pasokan, distribusi dan ketertarikan pelanggan, dan kemudian secara langsung mempengaruhi profitabilitas. Persaingan antar perusahaan cenderung saling mematikan dan profitabilitas industri rendah apabila: (1) Tidak adanya pemimpin yang jelas dalam pasar (keseimbangan kekuatan antara perusahaan dalam pasar), sehingga dapat terjadinya perang harga antara industri yang satu dengan yang lainnya, (2) jumlah pesaing yang terlalu banyak, (3) Pesaing beroperasi dengan biaya tetap yang tinggi yang dapat memberikan motivasi untuk memaksimalkan kapasitas mereka dan cenderung memotong harga ketika mereka memiliki kelebihan kapasitas. (4) Sulitnya untuk keluar dari industri, (5) pesaing memiliki sedikit peluang untuk bisa melakukan diferensiasi produk, (6) Pertumbuhan penjualan yang rendah sehingga tingkat persaingan untuk merebut pasar sangat tinggi.
- Potensi untuk Produk atau Jasa Pengganti
Untuk memprediksi tingkat keuntungan, perusahaan harus melihat apakah ada atau tersedianya produk yang sama di dalam pasar, atau memiliki fungsi yang sama dengan produk yang ditawarkan. Produk atau jasa pengganti dapat mengancam profitabilitas perusahaan yang ada saat ini jika mereka dapat menawarkan harga yang lebih rendah dari produk atau jasa yang ditawarkan oleh industri yang ada saat ini, atau memiliki kualitas yang lebih baik dengan harga yang sama dengan yang ditawarkan oleh industri saat ini.
Menurut Porter, strategi utamanya adalah:
- Biaya (cost leadership) yaitu keuntungan yang besar dengan biaya yang rendah. Keunggulan kompetitif dicapai dengan memangkas biaya sekecil mungkin. Perusahaan yang menerapkan strategi kepemimpinan biaya adalah Walmart, Suzuki, Overstock.com, dll.
- yaitu keuntungan yang besar dengan menambah nilai pada produk yang dignifikan kepada konsumen yang bersedia membayar dengan harga premium. Perusahaan yang menerapkan strategi diferensiasi adalah cocacola, progressive insurance, publix, dll.
- strategi adalah berkonsentrasi pada pasar yang terbatas. Perusahaan yang menerapkan strategi focus adalah Ritz Carlton, marriot, dan lain-lain.
2. Kelemahan Teori Keunggulan Kompetitif
Dalam penerapan keunggulan kompetitif dalam dunia perdagangan tidak selalu berjalan baik-baik saja, akan tetapi akan selalu mengalami hambatan-hambatan. Hambatan-hambatan tersebut yang menjadi kelemahan dalam penerapa teori ini, penjelasannya sebagai berikut:
- Ancaman dari produk-produk pengganti
Produk pengganti secara fungsional mempunyai manfaat yang serupa dengan produk utama (asli), namun memiliki kualitas produk dan harga yang lebih rendah. Umumnya, produk pengganti disenangi oleh orang yang berpenghasilan rendah, tetapi ingin tampil dengan status lebih tinggi dari keadaan sebenarnya. Ancaman dari produk-produk pengganti yang dimaksud di sini adalah seberapa mudah pelanggan/konsumen produk kita dapat berpindah ke produk pengganti.
- Ancaman dari pendatang baru
Pendatang baru yang dimaksud di sini adalah perusahaan yang memasuki industri, dengan membawa kapasitas baru dan ingin memperoleh pangsa pasar yang baik dan keuntungan. Masuknya pesaing baru ke pasar juga akan melemahkan kekuatan kita.
- Persaingan Industri
Persaingan konvensional terjadi di mana setiap perusahaan selalu berusaha sekeras mungkin untuk merebut pangsa pasar perusahaan lain. Konsumen merupakan obyek persaingan dari perusahaan sejenis yang bermain di pasar. Perusahaan yang dapat memikat hati konsumen akan dapat memenangkan persaingan, namun akan ada perusahaan yang kalah dalam persaingan.
- Kekuatan Tawar dari pihak Pemasok
Ketika pemasok memiliki lebih banyak kontrol terhadap pasokan dan harganya, maka segmen pasar ini menjadi kurang menarik. Cara terbaik adalah untuk membuat hubungan menang-menang (win-win relation) dengan pemasok. Adalah ide yang baik untuk kita memiliki banyak sumber pasokan, sehingga mengurangi ketergantungan pada pemasok tertentu. Contohnya dalam industri media suratkabar, kita memerlukan pasokan kertas koran, tinta percetakan, dan jasa pencetakan itu sendiri (untuk media suratkabar yang tidak memiliki mesin cetak sendiri). Jika kertas koran hanya bisa dipasok oleh pabrik kertas tertentu, sementara oleh pemerintah tidak diizinkan untuk impor kertas koran dari luar, maka pemilik pabrik kertas bisa mendiktekan harga kertas yang dijual pada industri media surat kabar.
- Kekuatan tawar dari pihak pembeli
Pembeli akan selalu berusaha mendapatkan produk dengan kualitas yang baik dan harga murah. Sikap pembeli semacam ini berlaku universal dan memainkan peran yang cukup menentukan bagi perusahaan. Jika harga suatu produk dinilai jauh lebih tinggi dari kualitasnya (harganya tidak mencerminkan kualitas yang sepantasnya) maka pembeli atau konsumen tidak akan membeli produk perusahaan kita.
Daftar Pustaka
Porter, M. E. Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance (1st ed.). New York, NY: Free Press. (1985).
David, F. R. Strategic Management: Concepts and Cases (13th ed.). New Jersey, NJ: Prentice Hall. 2011.
0 comments:
Post a Comment